Daku tuh benernya suka
merasa kompetitif, termasuk dalam hal tulis-menulis. Kadang kalo baca artikel
atau editorial bagus, selalu merasa, "Bisa sih bikin sekreatif
ini. Tapi males mikirnya". Eaa...males kok ngaku-ngaku. Hahaha.
Nggak sih, tapi lebih ke media kagak mau muat tulisan ik. Jadi blog sebagai
alternatif pelampiasan hasrat menulis. Atau media curcol?
Dulu nulis fiksi itu
mudah bagi saya yang memang suka ngayal-ngayal ga jelas. Nasib tulisan fiksi
saya (agak) lebih beruntung daripada artikel ala-ala. Pernah dimuat di Gadis,
Cita Cinta, Kawanku. Eh, majalah-majalah ini masih ada ngga, sih? Seiring asam
garam kehidupan mulai tercicipi, daya khayal mulai tergerus realita kehidupan
yang manis asam asin, rame rasanya *You sing, you failed*. Hahaha.
Awal dulu sebenarnya aku
itu tertarik nulis-nulis horor ala-ala RL Stine tapi ngga pernah berhasil
karena keburu parno sendiri. Maklum penakut anaknya. Kok bisa ya penulis horor
itu punya ide cerita begitu, hidupnya haunted ngga sih?
Pernah dengar menulis
sebagai terapi? Sayangnya, di penelitian yang saya baca, menulis yang dimaksud
yang melibatkan bolpoin dan kertas, bukan yang pencet-pencet tuts
keybords. Tapi kalo saya pikir-pikir (dan simpulkan sendiri) harusnya bisa
ditarik garis. Selama menulisnya tentang perasaan, tentang pengalaman, harusnya
dapat membantu kita melepas stres. Ya ngga?
Berikut short story yang
baru:
Nara
Nara memasuki kedai kopi langganannya. Semerbak harum kopi menyeruak begitu dia memasuki kedai kopi
mungil di ujung jalan. “Cappuccino”. Ucapnya pada sang barista. Tanpa banyak
bertanya sang barista meracik kopi kegemaran Nara. 1/3 espresso, 1/3 steamed
milk, 1/3 milk froth.
Pic From Here |
Nara duduk di tempat
biasanya. Di depan jendela yang menghadap laut. Jalanan memang sepi ketika hari
baru mulai. Beberapa pelanggan tetap lain menyapanya, untung hanya sekedar say
hi tanpa pernah mengobrol lebih panjang. Ini adalah waktu, kesempatan baginya
untuk sendirian, tersesat dalam pikirannya sendiri sebelum hari dimulai.
Nara mengangkat
kepalanya begitu mendengar pintu kedai dibuka. Lonceng kecil yang menempel di
pintu bergemerincing tanda ada orang datang
atau pergi. Sosok baru yang belum pernah dia temui di kota kecil ini. Selepas
mengambil pesanannya, pria itu mengambil tempat di seberang ruangan. Mengeluarkan
headset, buku, lalu tengelam di dalamnya sambil sesekali menyesap kopinya.
Hari-hari berlalu.
Rutinitas itu terus berulang. Nara dan pria yang duduk di seberang ruangan. Sibuk
dengan cerita masing-masing tanpa pernah bertegur sapa. Namun pagi itu berbeda.
Pria itu menghampiri meja Nara, “Boleh duduk di sini?” Tanyanya. Nara mengernyitkan
dahi heran. ½ meja di kedai ini kosong, mengapa harus berbagi meja. “Silahkan”.
Jawab Nara. Dia sendiri heran dengan jawabannya. Belum pernah sekalipun dia
mencoba berinteraksi dengan pengunjung lainnya, bahkan dengan barista. Hanya
sekedar ucapan, “Cappuccino”. Namun pagi ini berbeda. “Saya Michael”. Pria itu
mengulurkan tangannya. “Nara”. Jawab Nara dan menyambut tangannya.
Pagi itu berbeda, esok
pun terulang, begitupun esoknya lagi. Kini Nara tak lagi duduk sendiri. Dia dan
Michael selalu berbagi meja di pagi hari. Terkadang gelak tawa atau argument kecil
mewarnai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar