Rabu, 09 September 2015

Inside Out

Saya suka kartun-kartun buatan pixar. Menghibur dan sarat pesan. Yang paling baru tentang inside out. Inside Out menceritakan seorang anak perempuan 11 tahun, Riley, yang harus pindah dari kampung halamannya di Minnesota karena sang ayah membuka usaha baru di San Fransisco. Meninggalkan rumah, sahabat, dan tim hoki yang disayangnya membuat sang gadis mengalami perubahan perasaan, dari riang gembira menjadi sedih dan marah.

Terdengar sederhana, namun Pixar mengambil perspektif animasi ini dari dalam kepala, alias pikiran Riley. Di sana, terdapat lima karakter yang memerankan perasaan-perasaannya: Joy (gembira), Sadness (kesedihan), Anger (amarah), Disgust (jijik), dan Fear (takut). Imajinatif sekaligus ilmiah, karena sang sutradara, Pete Docter menginginkan Inside Out memiliki unsur psikologi yang kuat, yang menjelaskan bahwa manusia memiliki emosi-emosi yang mendasar di dalam dirinya.


Inside Out menunjukkan pentingnya anak mengenali dan mengungkapkan emosi yang mereka rasakan, termasuk pada orangtua mereka. Seperti yang terjadi dengan Riley, seringkali anak kesulitan untuk mengungkapkan dan menjelaskan apa yang mereka rasakan selama ini sebagai anak di rumah. Di pihak yang lain, seringkali orangtua kurang peka, dan malah merespon sikap anak dengan cara-cara yang membuat anak enggan bercerita, persis yang terjadi saat sang ayah memarahi dan menyuruh Riley masuk ke dalam kamar.

Nah, bagaimana ortu bisa membantu anak mengenali dan mengungkapkan emosi dalam diri? Dari situs babycare, Ayah Ibu dapat meminta anak untuk menyebutkan apa yang dirasakannya. Senang, sedih, marah? Kalo psikolog LiLo ngajari saya, ketika umur 1th setiap anak menangis, menenangkannya dengan menyebut jenis emosinya. Misal, 'kamu frustasi ya ngga bisa masukin donat ke ring'.'Kamu marah ya? Karena harus makan padahal masih mau main'. Untuk ngajari ortu tuh memahami bukan memusuhi. Tapi kalo ngga paham jenis tangisan, psikolog LiLo bilang, 'kamu hanya membantu. Tangisan mereka tanggung jawab mereka, bukan tanggung jawabmu'. In the end, saya suka bilang nanti sama-sama belajar ya.

Setelah itu, kedua, kalo cukup mampu berkomunikasi, biarkan anak bercerita mengapa mereka merasakan suatu emosi, misalkan rasa takut. Tanpa mengetahui penyebab emosi yang dirasakan anak, kita akan kesulitan untuk berempati. Oleh sebab itu, jangan konfrontasi anak dengan terburu-buru merespon tanpa tahu apa yang sebenarnya dialami anak. *Sungguh susah*

Dan terakhir, saat akhirnya mengetahui apa alasan di balik emosi anak, bantu dia memilih solusinya. Kenapa ngga langsung ortu aja yang bikin keputusan? Ya balik lagi, mereka juga belajar mengambil keputusan.

Poin menarik dari film inside out yakni, kesedihan bukanlah untuk dihindari, namun untuk diakui dan kemudian diterima oleh anak sebagai bagian dari hidup. Hidup memang bukan tentang menang-kalah saja. Namun dalam hidup anak pasti pernah mengalami kekalahan, kegagalan, dan bahkan kehilangan, yang diwujudkan dalam karakter Sadness dalam film Inside Out.

Seperti yang dikisahkan dalam Inside Out, saat anak bisa mengenali dan menerima, mengungkapkan kesedihan yang dialami, anak tumbuh menjadi pribadi yang berkembang dan lebih sehat secara mental. Ini ditunjukkan dalam akhir film Inside Out, saat kelima karakter emosi mampu ‘menciptakan’ ingatan-ingatan yang lebih kompleks, yang mengandung lebih dari satu emosi, seperti campuran antara Joy dan Sadness. Hiks! Buat diri kita aja susah, apalagi diaplikasikan ke anak. Mana ada sih ortu yang tega anaknya sedih? Hiks....hiks...hiks....tapi tetap balik tadi, alih-alih ngga bikin mereka sedih, ternyata membuat mereka belajar menerima kesediahan dan menyikapinya yang membuat mental mereka lebih sehat.

Tidak ada komentar: