Senin, 03 September 2012

Inspirasi dari Pengajar Muda


MEMBACA INDONESIA RAYA
By Erwin Puspaningtyas Irjayanti

“Apapun yang tidak membunuh kita, menguatkan kita.” Nietzche.


Saya menuliskan cerita ini live di atas bukit pada sore yang terik. Keringat pun bercucuran. Saat itu saya sedang duduk putus asa. Saya ingin berteriak kencang. Saya lelah berjalan dari satu bukit ke bukit lain untuk mencari air bersih agar bisa diminum sekeluarga. Selain itu, saya suka harus berjalan dari satu bukit ke bukit lain untuk sekadar mencari sayur, kacang panjang, dan syukur-syukur dapat kacang tanah untuk dijadikan lauk nanti malam. Jika tidak mendapatkan apa-apa untuk makan malam, terpaksa kami mengambil daun langurru’ dan batang rotan untuk dimasak jadi sayur. Rasanya? Jangan tanya. Sayurnya licin selicin daging tanaman lidah buaya. Buat menelan saja butuh perjuangan.


Ya, saya ingin berteriak, setengah putus asa karena akan pulang dengan tangan kosong. Saya belum mendapatkan apa yang kami cari. Dan, dada saya kian sesak mengingat orang-orang sini melakukan kegiatan ini setiap harinya. Suatu komunitas yang tinggal di rumah panggung, di pedalaman bukit-bukit, jauh dari gemerlap apalagi teknologi. Saudara kita. Satu tanah air. Beginilah susahnya keseharian mereka, dulu, sekarang, dan entah sampai kapan.


Just wanna say to everyone in this world bahwa jika hari ini pekerjaanmu melelahkan, alangkah indahnya jika kamu bersyukur karena keringat dan jerih payahmu itu dihargai lebih dari sekedar air bersih, sayur, kacang panjang, dan batang rotan untuk menyambung hidup.


Dan, jika kamu hanya makan “apa adanya“ atau makan yang tidak sesuai seleramu, syukurilah karena itu hanya hari ini saja. Atau bahkan, itu hanya KALI INI saja.


Maka, jika nanti malam kamu akan beranjak tidur, sampaikan salam hangat yang paling hangat dari saya untuk kasur empuk dan mungkin AC di kamarmu. Baru 7 bulan lagi saya akan meninggalkan papan tidur dan bertemu kasur tidur seempuk kasurmu malam ini.


Dan, jika saat ini, besok, atau esok dan esoknya lagi kau ingin mengeluh karena listrik padam, bersyukurlah karena itu hanya akan 1, 2, 3, 7, 8, atau 10 jam saja. Di sini, listrik pun bahkan tak ada.


Oh ya, jadi ingat sama uang Rp18.000,00 di dalam kantong.


Yah, saat 10 hari lalu saya ambil Rp50.000,00 dari ATM dan hari ini masih tersisa Rp18.000,00, saya jadi ingin memberi tahu bahwa pendapatan rata-rata per bulan di sini adalah Rp150.000,00 hingga Rp200.000,00/KK.


Jadi, hari ini kalau kamu ke restoran entah apa namanya dan membayar setidaknya Rp150.000,00 untuk santapan yang tersaji di mejamu, ingatlah bahwa uang sebesar itu adalah penyambung hidup kami di sini selama sebulan. Lalu, bersyukurlah atas apa yang kau punya.

Dengan menyalurkan energy positif untuk bersyukur ini, saya jadi semangat lagi.

Pada detik ini, saya sudah menghapus peluh.

Tersenyum.

Membayangkan papa-indoq, ayah ibu hostfam-ku yang bakal senyum dan senang melihat saya pulang dengan tempat air yang terisi dan segenggam sayur di keranjang bambu.

Tepat di detik ini, saya sudah berdiri.

Saya akan mencari air lagi dan menengok beberapa kebun sebelum gelap tiba. Siapa tahu ada sayur yang bisa dibawa pulang.

Dan, sekarang saya sudah menggendong keranjang bambuku.

Tersenyum.

Matahari indah, hampir tenggelam di atas laut sana.

Adalah menjadi indah juga membayangkan November nanti saya akan kembali. Dan membuang sepatu lapangan usang yang kupakai sekarang ini, menggantinya dengan high heels dan mendaki kembali tangga-tangga eskalator, menjejak lift, dan menikmati makanan-makanan lezat. Lagi.

Pada detik ini, kusudahi.

Saya harus berburu air dan sayur lagi. 

Berkah Yang Kuasa bersama kalian semua, Sahabatku. Terima kasih sudah membaca ini.

Ayo, tersenyum dan bersyukur.

Peluk jauh dari bukit entah apa namanya di Majene.

........


Saya baru saja menyelesaikan membaca buku Indonesia Mengajar. Buku yang bagus. Menyesakkan jiwa ketika membacanya sekaligus memberi inspirasi dan penguatan buat saya. Kisah "Membaca Indonesia Raya" ini mengingatkan saya pada pergumulan - pergumulan saya ketika harus menetap di Bitung, Sulawesi utara. Alhamdulillah, kondisi Bitung jauh - jauh - jauh lebih 'beradap' dibandingkan kondisi di Majene. Tapi sebagai 'anak kota' dari jaman brojol tetep saja ada masa-masa nelangsa. Apalagi kalo sudah berhadapan sama listrik mati, air keluarnya hitungan jam, tenaga kesehatan yang terbatas dan perbedaan fasilitas dari kehidupan saya dulu di Surabaya.

Ah, tak ada salahnya melihat ke bawah untuk berempati dan ternyata hidup yang dijalani nggak perlu nelangsa-nelangsa amat. Walau sinyal provider suka tiba-tiba koma tapi alhamdulillah masih bisa sekedar mengirim sms ke orang tua. Walau suka kelewat CSI karena lampu mati, alhamdulillah masih ada jasa layanan TV kabel untuk mendekatkan kami ke peradapan. Walau antrian BBM mengular, alhamdulillah masih kebagian. 

Surabaya - Manado hanya berjarak 2,5 jam penerbangan direct dari Surabaya. Manado - Bitung hanya berjarak 1 jam dengan kendaraan bermotor. Alhamdulillah kami tak perlu menempuh perjalanan darat terlalu lama dengan medan yang berat, seperti kawan-kawan lainnya.

Belum lagi kekahwatiran saya kalo kelak saya dikaruniai anak. Bagaimana pendidikan mereka? Bagaimana fasilitas kesehatan mereka? Bla bla bla. Ah, Ligwina Hananto juga besar di Sorowako, bisa bersekolah di Curtin - Samaan ma anak presiden pula :p - dan sekarang Ligwina termasuk rock star muda yang memberi inspirasi banyak orang Indonesia.

Dan yang mengusik saya. Apa yang bisa saya lakukan untuk daerah yang saya tinggali sekarang? Saya tidak seberani para pengajar muda. Kemarin teman-teman AIMI - Sulsel ada yang menyarankan, di Sulut belum ada konselor laktasi, gimana kalo saya belajar supaya bisa menularkan ilmu di sana. Saya masih maju-mundur. 

Setelah membaca buku Indonesia Mengajar, terlalu absurd kah mengharap pemerataan pembangunan di Indonesia oleh pemerintah? Saking absurdnya sampai-sampai pihak-pihak swasta seperti Indonesia Mengajar berjalan. Justru itu pointnya. Saya yakin Indonesia berdaya bukan karena pemerintah (yang lagi auto-pilot), tapi berdaya di tangan anak-anak muda, pihak-pihak swasta yang mau merubah. Selain kerinduan kami untuk ditempatkan di home-based, ada lagi yang harus dirindukan : Beranikah kita mencari cahaya dalam kegelapan pekat tanpa menyerah?

Semoga...semoga saya dapat terus mendukung suami yang sudah berjanji di awal pengabdiannya untuk bersedia ditempatkan dimana saja di Indonesia raya ini. Tanpa perlu menjilat, merengek, merajuk hanya demi tinggal di kota besar di Jawa (dan tak mau di-rolling).

Tidak ada komentar: