Secerca Harapan
“Ayo Adi! Ayo Adi!” Teriak riuh para bocah di pinggir lapangan. Menyemangati Adi yang sedang menggiring bola menusuk ke jantung pertahanan lawan.
“Kiri Mam! Hadang!” Teriak Zamroni memberi komando Imam untuk menghalangi langkah Adi.
Namun sayang. Bocah itu terlalu lihai menggiring bola dan hasilnya....”Goolllllll!!!” Teriakan riuh bergelora.
“Yiayyy!!! Akulah Zidane Indonesia!” Teriak bangga Adi.
“Kalo aku Christiano Rhonaldo-nya Indonesia” Celetuk Imam nggak mau kalah.
“Aku, Beckham dong!!!” Sahut Zamroni sambil mengusap peluhnya.
“Udahan ya mainnya! Aku capek. Takutnya lapar nanti!” Ucap Adi.
“Iya...aku juga. Mau tidur siang aja, ah!” Tutur seorang bocah dan pergi meninggalkan kerumunan bocah-bocah lainnya. Lalu buyarlah kerumunan bocah-bocah yang sedang bermain bola. Beberapa lainnya beralih memainkan mainan baru.
Adi membaringkan badannya di atas rumput dan memandang langit yang kelabu. Walau bersimbah peluh, senyum masih menghiasi wajahnya. Zamroni dan Imam pun ikut berbaring di sebelahnya.
“Coba kalo cita-cita kita akan menjadi nyata. Aku pasti kaya raya dan bisa membantu ayah dan ibu”. Ucap Imam.
“Uhm...cita-citaku sebenarnya mau jadi dokter, sih. Bisa nyembuhin orang sakit. Lalu, nanti kalo ada orang miskin sakit, aku bantu dia. Harga diskon!” Celoteh Zamroni sambil membetulkan kacamatanya yang melorot.
“Kok cuma harga diskon, Ron?” Tanya Adi.
“Lha, kalo aku gratisin, nanti aku mau makan apa? Ndak bisa aku beli sapi dan sawah”. Jawab Zamroni sambil berargumen.
“Woh, sudah jadi dokter kok masih mau bertani? Kapan sempat nyangkulnya?!” Tanya Adi.
“Uhm...sawahnya biar orang lain yang mengerjakan. Bagi-bagi rejeki”.
Adi menoleh ke arah sahabatnya itu sambil mengangguk-angguk. Seolah-olah menyatakan setuju.
“Kalo kamu mau main bola juga, Di?” Tanya Imam.
Adi menggendikkan bahunya. “Aku suka main bola. Tapi....aku juga pengen jadi tentara kayak mas Sarwo itu, lho. Keren kan pake seragam hijau-hijau. Tapi...aku juga pengen jadi penyanyi. Tampil di televisi”.
“Gaya kamu! Baru menang nyanyi tingkat kecamatan saja sudah bangga”. Goda Imam.
Adi lalu bangkit dan berdiri menghadap temannya. “Indonesia tanah air beta....pusaka abadi nan jaya....Indonesia sejak dulu kala... tetap dipuja-puja bangsa...di sana tempat lahir beta...”.
Tiba-tiba suara gemuruh dari arah Merapi terdengar dasyat. Abu berguguran dari atas langit. Muka mereka yang tadinya cerah berubah menjadi pucat ketakutan. Mereka berlari menuju tenda pengungsian. Gemuruh itu terdengar jelas walau keberadaan mereka cukup jauh dari puncak Merapi.
Dari balik tenda pengungsian mereka melihat keluar. Abu berguguran seperti salju di musim dingin, seperti yang mereka lihat di televisi. Imam meneteskan air mata. Dia mulai menangis ketakutan.
“Ssssttt...!!! Pemain bola nggak boleh menangis”. Seru Adi.
Zamroni merangkul pundak Imam. “Nggak pa-pa. Jangan takut! Kuantar kamu ke tempat ibumu!”
Imam mengangguk. Mereka bertiga berjalan saling berangkulan menuju tempat keluarga mereka berada di pengungsian.
***
Harapan, cita-cita besar selalu tersirat di dalam setiap mereka. Dengan senyum mereka secerah sinar pagi, harapan akan terus ada. Jangan biarkan senyum itu pudar lalu menghilang, memusnahkan cita-cita mereka.
***
By : Primadika
Twitter : @Primadika
________________
Kamu juga bisa berpartisipasi dengan menulis cerpen untuk Indonesia dan seluruh royalti akan digunakan untuk membantu para korban bencana alam di Indonesia. Untuk keterangan lebih lanjut bisa cari di sini.
SEMANGAT UNTUK INDONESIA SATU ^_^
1 komentar:
baca yang ini langsung mewek!! padahal lagi di kantor :'(
ga sadar kalo kejadian merapi itu merenggut lebih banyak dari yang kita bayangkan *keluarga suamiku ikut mengungsi*
Posting Komentar